Sejarah batik di Nusantara sudah dimulai jauh
sebelum kata “Indonesia” sendiri tercipta. Budaya teknik cetak motif batik
tutup celup dengan menggunakan malam dari sarang lebah di atas kain sebenarnya
tidak eksklusif terdapat di Indonesia, melainkan terbentang dari Mesir hingga
kawasan Timur Tengah lainnya.
Teknik ini juga dapat dijumpai di Turki, India,
Cina, Jepang dan Afrika. Namun tidak ada satu tempat pun di dunia ini yang
mengembangkan teknologi dan motif batik sedemikian kompleks dan kaya seperti di
Indonesia (terutama Jawa).
Teori mengenai asal-muasal batik telah menjadi
perbincangan yang cukup pelik. G.P. Rouffaer, ilmuwan Belanda yang meneliti
soal batik mengatakan, teknik ini dibawa pertama kali dari daerah India
Selatan. Ada lagi pendapat dari J.L.A Brandes yang mengatakan bahwa sebenarnya
sebelum ada pengaruh India datang ke Indonesia, Nusantara telah memiliki 10
unsur kebudayaan asli yaitu, wayang, gamelan, puisi, pengecoran logam mata
uang, pelayaran, ilmu falak, budidaya padi, irigasi, pemerintahan, serta batik.
Teori ini kemudian sedikit mematahkan teori bahwa
batik berasal dari India Selatan.
Ada lagi yang menceritakan, sejarah batik di
Indonesia tumbuh dan berkembang semenjak adanya impor kain tenun dari India
pada abad ke-17. Kain Eropa juga masuk ke Indonesia pada awal tahun 1815. Namun
teori ini juga bergulir begitu saja. Mengingat motif-motif serupa motif batik
sudah dapat kita temukan di relief-relief candi Prambanan dan juga Candi
Borobudur. Artinya, bangunan-bangunan yang sudah berdiri semenjak abad ke-8 ini
sudah mempengaruhi motif batik yang ada hingga sekarang.
Sebuah tinjauan sejarah yang diterbitkan oleh
Bataviaasche Genootchap Van Kunsten Wetwnschapen tahun 1912 dan bernama kitab
Centini menyebutkan, pada jaman Pakubuwono V, sudah ada istilah batik dan pada
waktu itu sudah terdapat motif-motif halus seperti gringsing, kawung, parang
rusak dan lain-lain.
Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa canting sudah
digunakan pada saat itu. Dalam kesusastraan kuno dan pertengahan, sempat
ditemukan pembahasan soal nyerat atau nitik yang diduga merupakan teknik
menghias kain menggunakan malam. Kemudian, setelah keraton Kartasuro pindah ke
Surakarta, muncullah istilah mBatik dari Jarwo Dosok. Kata ini berasal dari
gabungan kata “ngembat” dan “titik” yang berarti membuat titik.
Dari semua tinjauan literatur ini cukup terlihat
bahwa teknik merintang warna dengan menggunakan malam ini memang berkembang dan
maju di tanah Jawa, terutama Jawa Tengah. Perkara kemudian seluruh daerah di
Nusantara memiliki batik sudah jelas akibat proses bergeraknya manusia dan
bergeraknya kebudayaan yang ada bersama manusia-manusia tersebut.
Dan teknik ini kemudian juga berkembang, mengikuti
proses asimilasi budaya orang-orangnya. Dan inilah yang kemudian membuat batik
menjadi begitu kaya dan beragam.
Dari timur ke barat, dari utara ke selatan, hampir
semua daerah di pulau Jawa memiliki batiknya sendiri-sendiri. Bicara batik Jogja dan Solo, maka kita akan
bicara sedikit tentang sejarah kerajaan Mataram Islam. Sebuah buntut dari
kedigdayaan kerajaan Nusantara yang begitu berjaya pada masanya.
Melalui proses yang sangat pelik dan melibatkan
ratusan kali pemberontakan akhirnya kerajaaan Mataram Islam dipecah menjadi dua
melalui perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Perjanjian yang sedikit banyak melibatkan campur
tangan VOC ini, membagi wilayah Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Dimana Pakubuwono III menjadi rajanya dan Pangeran
Mangkubumi menjadi Raja di wilayah yang baru dengan gelar Sri Sultan
Hamengkubuwono I.
Intinya, pemisahan wilayah ini, kemudian membuat
berbagai macam perubahan dalam budaya di kedua wilayah tersebut.
Kasunanan Surakarta, yang merupakan awal dari
kerajaan Mataram Islam mempertahankan semua jenis kebudayaan yang mereka
miliki. Mulai dari ritual, tarian sampai ke batik. Sedangkan Kesultanan
Ngayogyakarto Hadiningrat cenderung membuat berbagai macam tradisi baru, namun
tetap berakar pada tradisi kerajaan Mataram Islam. Termasuk juga kain batiknya.
Apabila sedikit disimpulkan, budaya pada Kasunanan
Surakarta lebih konvensional dibandingkan Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat
yang cenderung progresif. Ini terlihat misalnya pada tarian di Yogyakarta yang
lebih dinamis, dibandingkan posisi berdiri yang lebih tegak dibandingkan
Surakarta.
Untuk batik, Sultan Hamengkubuwono I dari Yogya,
memilih latar putih sebagai warna dasar kain batiknya. Sedangkan Susuhunan
Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta/ Solo tetap memilih latar sogan dan
cenderung gelap untuk kain batiknya.
Warna putih adalah warna dominan yang dapat kita
lihat pada kain batik Yogya. Warna sogan cokelat kuning keemasan adalah warna
dominan batik Solo.
Apabila batik Yogya tampil dalam warna gelap, maka
warna gelap kebiruanlah yang akan dominan terlihat pada kain batiknya.
Sedangkan Batik Solo akan tampil dalam warna hitam kecokelatan ketika tampil
dalam warna gelap. Ini muncul sebagai akibat dari proses pencelupan warna biru
berkali-kali yang didapatkan dari tanaman indigo.
Sedangkan warna hitam kecokelatan yang terdapat pada
batik Solo merupakan hasil pencelupan berkali-kali warna cokelat sogan.
Ini adalah hal paling mendasar yang membedakan batik
Yogya dan Solo. Warna sogan atau kuning cokelat keemasan tetap menjadi warna
khas kedua batik ini.
Beberapa perbedaan juga terlihat bagaimana perajin
batik Yogya dan Solo dalam memprodo — hiasan emas pada motif — batik mereka.
Membubuhkan prodo gaya Solo berbeda dengan gaya
Yogya. Pada gaya Solo, yang dibubuhi prodo hanyalah garis luar (outline) corak
dan sebagian isen-isennya.Sedangkan gaya Yogya, hampir seluruh corak dan
isennya dilapisi prodo. Kesan yang ditampilkan pada prodo gaya Solo adalah
lebih tenang dan anggun, sedangkan pada gaya Yogya lebih gagah dan menonjol.
Sekian dulu ya sobat, semoga bisa bermanfaat dunia
akhirat.
Amin……
“abk”
0 comments:
Post a Comment